Wednesday, April 29, 2009

Friday, April 24, 2009

Cost of Waiting

Have you ever count how much the cost of waiting?
Is it relative or countable?


Waiting consists of several element :
1. Time, (of course)
2. Energy
3. money
4. opportunity

If you want to count waiting as Speed for wireless browsing, you can count the cost to get the HSDPA speed compare to GPRS one. Here are the cost (all in rupiahs) :
1. Modem : around 1.5 million
2. Space to get HSDPA Network :
a. Lucky if you are already in the network : 0
b. You need to go to somewhere else which is costed, let s say : 20 thousand (for around Jakarta
c. It is very rare to get 3.2 Mbps, unless you don't want to share your network to other. But if you are very rich, you can get your own BTS costed : (anyone can help? i don't know the cost). We can ignore this, only "crazy" person will do this solution
3. The cost of the service : 125 thousand (Telkomsel Flash unlimited and if you already have HALO card)

So, the cost of waiting based on wireless speed internet connection is around 1,645 million rupiahs.

Waiting is 1,645 million rupiahs

Another comparison, waiting in the middle of traffic jam while you are going home to coastal areas of Jakarta from the central of Jakarta.
The cost is :
1. House pricing around the central of Jakarta, let say : 1 billion
2. or maybe, you need a Helicopter to get home, so you need :
a. a Helicopter
b. a Helipad
c. Helipad parking in the office
d. The gasoline
For this option, i am so sorry, cause i dont have the data. But it seems impossible for human in general, so let s just forget this cost.

The minimum cost for waiting based on traffic jam is 1 billion rupiahs.

Waiting is 1 billion rupiahs.

We can't have a default cost for waiting. But it doesn't mean we can't count it. We can do count by analyze the cost to our body. Waiting for the browsing page show up and waiting in the traffic jam cause something to our body called stress. How much this stress effects our body functionality? How much the DNA mutated caused of waiting?
And the cost is how we can get all the loss body functionality back and how the DNA combination comes back to where it is.
I think we can take this as first formula cost of waiting. So, who want to be the first to count?
Or maybe, there already the one who made up to count, scientifically.

We need this formula. Our country need it. So, next time, if you want to wait or make someone else waiting, you can count it and compare between the cost and the result. If it is profitable, then just wait :) if it is not, why you have to wait?

Thursday, April 9, 2009

Hingar Bingar Pesta Demokrasi

Tak terasa, lima tahun sudah berlalu semenjak terakhir saya memilih para wakil rakyat. Hasilnya? mungkin tidak terlalu signifikan, kurang revolusioner. Tapi kalau menginginkan sesuatu yang revolusioner harus ada pengorbanan yang luar biasa. Selain itu, memerlukan momentum yang luar biasa pula. Contohnya? Tragedi Mei 1998, tapi sayang sekali kurang termanfaatkan dengan baik sehingga hasilnya kurang terasa saat ini. Walaupun, ketika momentum itu terjadi, saya hanyalah seorang anak SMP yang tidak tahu dunia politik. Yang saya ingat Soeharto akhirnya turun dan Pak Habibie salah pidato :). Yang saya ingat saya hanya bisa berdiam diri dirumah dengan kondisi mencekam khawatir kerusuhan menghinggapi daerah saya. Satu hal lagi yang saya ingat, kakak saya terjebak di perjalanan pulang ke rumah sepulang sekolah dan Alhamdulillah tidak terjadi apa -apa padanya.

Kali ini, pemilu pertama dengan metode baru, mencontreng. Apakah ini sebuah kepedean pemerintah bahwa masyarakat Indonesia sudah bisa baca tulis semua? sudah terbiasa menggunakan alat tulis semua? Entahlah.
Kali ini pula, untuk lembaran DPRD di Jakarta memakan dua lembar kertas ukuran gigantium *berlebihan :) , yang ada di pikiran saya, partai kok makin banyak ya? apakah sekarang pemilu sudah menjadi momen pembukaan lapangan kerja di kursi dewan perwakilan? Kalau melihat renumerasi yang ditawarkan, lumayan juga, cukup untuk menggantikan penghasilan para artis sehingga mereka mau meninggalkan dunia keartisannya demi kursi kursi itu. Tapi, apakah karena itu? Entahlah *untuk kedua kali.

Yang jelas saya sangat sedih melihat teman-teman saya yang tidak memperoleh hak mereka untuk menyuarakan aspirasinya. Satu suara sungguh berarti, karena banyak kemungkinan dari satu suaru itu, dipergunakan, disia-sia kan, atau digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Meminjam istilah teman saya, mereka yang tidak mendapatkan hak pilih tapi ingin memilih adalah orang-orang yang dipaksa GOLPUT.
Adakah sistem yang memungkinkan perantau memperoleh hak suaranya?
Adakah sistem yang memungkinkan pemilih menggunakan hak suaranya berdasarkan tempat tinggalnya saat itu?

Saya mengerti, Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki wilayah sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau. Saat otonomi daerah mau diberlakukan, saya sangat senang mendengarnya. Akan tetapi, siapkah para SDM di tiap daerah tersebut? Bagaimana dengan konsep negara bagian?
Jika SDM sudah siap dan tersebar merata, saya akan menyambutnya dengan senang hati. Jakarta tidak akan lagi terkenal dengan kemacetan dan polusinya, lengkap dengan asesoris peminta mintanya.
Dengan demikian, saya akan tenang bekerja di Jakarta :)

Sebuah PR besar untuk Indonesia.